Jurnalis KBR Raih Penghargaan Karya Jurnalistik Terbaik tentang Anak 2022 AJI – UNICEF Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir tiga tahun telah mengubah beragam pola hidup masyarakat, termasuk pemenuhan imunisasi pada anak. Di Indonesia, angka imunisasi dasar anak mengalami penurunan, misalnya di tahun 2021, cakupan dasar imunisasi rutin hanya mencapai 84,2 persen dari target 93,6 persen. Padahal Angka Kematian Bayi (AKB) didominasi oleh penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Imunisasi terbukti sebagai cara paling efektif dalam mencegah penyakit. Secara global, vaksin mencegah tiga juta kematina per tahun. Oleh karena pentingnya program vaksinasi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama UNICEF berkolabolasi dalam melakukan seleksi terhadap 300 karya jurnalis dari berbagai platform seperti media cetak/online, foto, radio, dan televisi yang menyajikan karya jurnalistik tentang imunisasi dan vaksin. “Jurnalis adalah sekutu UNICEF dalam pekerjaan kami untuk anak-anak. Media memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi dan mengedukasi masyarakat tentang hal-hal yang berdampak pada kehidupan mereka,” kata Thierry Delvigne-Jean dari UNICEF. Banyaknya penolakan program imunisasi dan vaksinasi menjadi pertimbangan utama dipilihnya tema ini. Peran jurnalis sangat penting dalam memberikan informasi dan edukasi kepada publik tentang pentingnya imunisasi bagi keseharan anak. Sasmito Madrim, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen berharap, dengan penghargaan ini dapat mendorong jurnalis membuat karya-karya jurnalistik terkait anak, sehingga bisa memotivasi gerakan bersama untuk anak Indonesia yang lebih baik. Di antara sederet nominasi yang terpilih, jurnalis KBR Valda Kustarini juga menjadi nominee dengan karya berjudul “Ada Asa di Balik Tumpukan Sampah” yang dimuat di program SAGA. Berikut para peraih Penghargaan Karya Jurnalistik Terbaik tentang Anak selengkapnya: 1. Kategori Cetak/ Online 1. Pemenang utama: Adi Warsidi (acehkini.id partner kumparan.com) 2. Special mention: Deonisia Arlinta (Harian Kompas)2. Kategori Foto 1. Pemenang utama: Nur Chamim (Jawa Pos Radar Semarang) 2. Special mention: Andrey Gromico (Tirto.id)3. Kategori Radio 1. Pemenang utama: Hidup Usai Teror Season 2 – Tim KBR (Malika, Asrul Dwi, Aika Renata, Raga Prabhantara) 2. Special mention: Ardi (RRI Merauke)4. Kategori Televisi 1. Pemenang utama: Khalida Meyliza, Githa Nila Maharkesri, Veronica Hervy, Christopher Novezius, Affan Jaya Rahman, Fitri Rahmawati (Kompas TV) 2. Special mention: Khalida Meyliza, Mercy Tirayoh, Veronica Hervy, Christopher Novezius, Ersyad Prakoso, Riki Ramahdoni (Kompas TV)
Lewat Podcast, Gilang Membawa Cerita Penghayat ke Publik
Gilang Prasetyo Adjie Muhamad mulai mempelajari podcast sejak 2022. Begitu tahu ada ajang KBR Prime Podcaster Hunt, ia langsung tertarik untuk ikut serta. Alasannya, karena dia adalah mahasiswa jurusan Komunikasi, dan ia ingin mengolah kegiatan komunitasnya, Jakatarub Bandung, ke panggung digital. Jakatarub atau Jaringan Kerja Antar Umat Beragama merupakan sebuah komunitas penggerak perdamaian dan promosi toleransi melalui advokasi, kampanye media sosial, dan program kreatif. Sejak 2013 mereka membuat kegiatan offline berisi perkenalan berbagai agama dan kepercayaan berjudul “Cafe Religi”. “Banyak sekali ilmu yang aku dapat,” kata Gilang mengingat kegiatan 3 hari di KBR Prime Podcaster Hunt Boot Camp 2023. “Mulai dari cara bikin podcast sampai etika bikin podcast. Aku dulu kuliah jurusan Komunikasi, sempat belajar kode etik jurnalistik. Ternyata podcast juga perlu seperti itu, walaupun belum ada kode etik khusus.” Materi di Boot Camp membuka matanya kalau memproduksi podcast tak sekadar merekam suara. “Sebelum mengikuti pelatihan, aku mikirnya podcast itu sekadar dua orang ngobrol, sudah selesai. Ternyata harus ada naskahnya, dan lain-lain,” tambah Gilang. Gilang merasa ada banyak kesamaan antara dirinya dengan peserta lain. “Aku merasa cukup nyaman untuk diskusi. Di malam terakhir, aku diskusi berbagai hal, terutama soal agama, sampai jam 11 malam. Ternyata pesertanya cukup terbuka untuk sharing.” Kenyamanan ini tak hanya dilihat Gilang dari apa yang dia alami, tapi juga yang ia lihat dari peserta lain. “Ada teman disabilitas yang cukup nyaman untuk mengutarakan kebutuhannya.” Bersama kelompok 29, Gilang memproduksi Cafe Religi on Podcast dengan episode berjudul “Jadi Penghayat Keperyaan itu Enak Nggak Sih?” Tema ini diangkat bersama Indra Anggara (Komunitas Keagamaan Penghayat Budi Djadja) dan Fajriatun Nisa (Komunitas Bandung Lautan Damai). Tema ini diangkat karena para personel kelompok berpendapat, bahwa kelompok penghayat adalah kelompok penganut agama “lokal” yang ada di Indonesia jauh sebelum agama “impor” seperti Islam, Budha, Kristen datang. Namun belum banyak yang kenal atau mendengar cerita langsung dari para penghayat. Tidak kenal, kata Gilang, tentu bisa menimbulkan prasangka. “Kenapa enggak kita kenalin dulu, yang sudah ada duluan di Indonesia. Jadi kita pingin kenalin dulu, ini penghayat kepercayaan sudah sangat lama ada di Indonesia lho.” Gilang (dengan hoodie pink) bersama anggota Kelompok 29 dan mentor Hilman Handoni di KBR Prime Podcaster Hunt Boot Camp 2023.
Keluarga yang Fanatik Agama Membawa Widi Belajar Lintas Iman & Gender
Salah satu bentuk intoleransi contohnya adalah keluarga saya,” cerita Widi Dewi (21). Keluarga saya sangat fanatik agama. Jadi saya selalu merasa tertekan dengan pesan Mama untuk tidak bergaul dengan orang yang berbeda agama. Akibatnya, saya takut jika bertemu orang di luar kelompok saya. Widi adalah peserta KBR Prime Podcaster Hunt Boot Camp batch Bandung, berasal dari Komunitas Fatsoen. Nama ini dia pilih sendiri karena tidak ingin orangtuanya tahu tentang apa yang dia ceritakan di sini. Saat itu, Widi tengah menjawab pertanyaan fasilitator terkait contoh intoleransi. Ini adalah pertama kalinya Widi berbagi cerita tentang keluarganya kepada orang-orang baru. Dia merasa kaget dengan keberaniannya sendiri, tapi setelah itu merasa lega karena merasa boot camp ini seperti ruang aman. “Di boot camp ini rasanya tidak apa-apa untuk berbagi cerita. Siapa tahu ada solusi, siapa tahu ada yang memiliki pengalaman yang sama.” Keberanian Widi ini menginspirasi teman-temannya untuk juga berbagi cerita. Widi merasa lega karena bisa berbagi cerita dengan jujur, tanpa perlu melebih-lebihkan atau mengurangi. Dia merasa diterima dan didengarkan oleh teman-temannya. Pengalaman Widi mengikuti KBR Prime Podcaster Hunt membuatnya merasa kalau ruang aman itu ada. Boot camp ini memberikan ruang aman untuk semua orang, terlepas dari latar belakang gender atau agama. Semua diterima dengan hangat dan tidak dibedakan. Widi bertemu kembali dengan dua temannya dari Komunitas Jakatarub yang berbeda agama, dan mereka juga merasa aman di sana. Widi merasa tersentuh dengan penerimaan dan saling menghargai yang ada di antara mereka. Widi belajar banyak selama tiga hari di boot camp. Dia mendapatkan wawasan baru tentang relasi antarteman, toleransi, dan hal-hal lainnya. Pengalaman ini sangat berbeda dengan kehidupannya sehari-hari di rumah, di mana orangtuanya selalu mengarahkannya untuk bergaul dengan orang yang sama agama dan gender. Widi ingin belajar tentang perbedaan, tetapi selalu dibatasi oleh orangtuanya. Alhasil, Widi harus sembunyi-sembunyi dari keluarganya saat mulai tertarik belajar tentang lintas iman di SMA. Dia tidak ingin terus melihat diskriminasi terhadap minoritas. Setahun belakangan, dia juga mulai belajar tentang ragam gender, dan merasa semakin mantap setelah mengikuti boot camp. Intinya, Widi merasa bahwa boot camp ini telah membuka pikirannya dan memberinya ruang untuk belajar dan tumbuh. Dia merasa lebih berani untuk menjadi diri sendiri dan tidak takut untuk mengeksplorasi perbedaan.
Ranti dan Perjalanan “Si Anak Ayam”
“Aku seperti berada di dalam cangkang telur,” kata Ranti (19) menggambarkan keterbatasan dirinya. Ranti adalah seorang penyandang disabilitas daksa, dengan satu tangan. Ia adalah peserta KBR Prime Podcaster Hunt 2023 batch Bandung. “Cangkang telur itu membatasi kesempatan. Jadi kita harus keluar dari cangkang itu,” kata siswa kelas 3 SMA di Bandung tersebut. Percakapan ini muncul ketika Ranti dan dua temannya dari Kelompok 16 (terdiri dari peserta dari Bumi Disabilitas dan Komunitas Salim) mendiskusikan soal rencana podcast yang akan dibuat pasca mengikuti kegiatan KBR Prime Podcaster Hunt 2023. Ketika Ranti menyebut frase “cangkang telur”, sontak teman sekelompoknya menyambut, “Kalau gitu Ranti jadi anak ayam dong…” kata Vanesa Shintia dari Komunitas Salim, Bandung. “Iya, aku anak ayam yang sudah keluar cangkang dan sekarang berjalan ke mana-mana,” tambah Ranti mantap. Ranti, yang aktif di Komunitas Bumi Disabilitas, mengusulkan ide podcast kelompoknya untuk mengangkat cerita hidupnya yang, kata Ranti, mirip ‘anak ayam yang keluar dari cangkang telur’. Dua temannya menyetujui ide tersebut, dan menyebut ide Ranti ‘indah dan bermakna’. Maka jadilah podcast mereka “Tiga Dimensi: Cerita Ranti Keluar dari Cangkang” (dengar di sini). Selama 20 menit, Ranti mengajak pendengar berkenalan lebih jauh dengan dirinya sebagai seorang penyandang disabilitas. Dia bercerita tentang bagaimana anak-anak seperti dia membutuhkan kesempatan dan kepercayaan. Ia juga berbagi soal sikap keluarganya yang khawatir akan dirinya. “Sebenarnya sang induk sangat khawatir dengan si calon anak ayam. Sehingga ia berpikir, menahan dalam cangkang selamanya adalah pilihan yang tepat. Supaya anaknya tetap aman,” seperti dicuplik dari podcast tersebut. Orangtua Ranti akhirnya membiarkan ia keluar dari ‘cangkang’ dan mengizinkan Ranti aktif di berbagai komunitas. Dari situ, ia mulai menapak ke dunia yang baru. Ia bermula di Komunitas Bumi Disabilitas, lalu bergabung sebagai child campaigner di Save The Children Jawa Barat. Ranti ikut berkampanye soal perubahan iklim di ajang Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) di G20 Bali pada November 2022. Ranti pernah juga menjadi narasumber di program Ruang Publik KBR untuk berbagi cerita soal Generasi Iklim sebagai child campaigner di Save The Children. Di Komunitas Bumi Disabilitas, Ranti bertemu dengan teman-teman baru dengan ragam disabilitas. Di sini, ia menemukan ruang untuk mewujudkan passion-nya: jadi perancang busana. Dan ini tak lepas dari kondisi yang ia alami sebagai penyandang disabilitas. “Ketika aku mau pakai celana jeans, nggak bisa, nggak nyaman, pegal. Ketika aku mau wudhu, kancingnya susah dibuka. Akhirnya, ah, aku harus bercita-cita sebagai desainer dan menciptakan fashion yang memudahkan teman disabilitas menjalani kehidupan sehari-hari.” Ia mewujudkan cita-citanya: membuat baju dan aksesoris dari limbah plastik, karung goni dan lainnya, serta mengadakan peragaan busana.
Yuni Saraswati – Dari Merasa Tak Dihargai Sampai Temukan Ruang Aman
“Sejak aku SD hingga aku kuliah saat ini, keluargaku nggak ada yang tahu pencapaianku. Sudah seperti apa, apa saja yang kulewati… nggak ada yang tahu,” kata Yuni Saraswati (21), peserta KBR Prime Podcaster Hunt Boot Camp 2023. Ia berasal dari Komunitas Kabupaten Bogor Mengajar, dan mengikuti Boot Camp batch Jakarta, pada 3-5 Februari 2023. Selama duduk di bangku sekolah, Yuni selalu masuk 10 besar. Di organisasinya, Yuni juga pegang posisi penting, sebagai Head of Public Relations di Kabupaten Bogor Mengajar. Ia merasa tak cukup aman, juga nyaman, untuk bercerita kepada keluarganya. Termasuk ketika ia mengalami peristiwa yang serius dan sensitif; yaitu saat ia mengalami pelecehan seksual ketika masih SD. Saat itu ia tengah berjalan kaki, dan payudaranya dipegang oleh orang yang melintas. “Buat apa cerita? Responsnya akan tidak sesuai yang aku harapkan,” kata dia. Ia justru merasa takut disalahkan, karena dianggap main keluar rumah terus. Ia juga kerap merasa insecure karena orang sekitarnya kerap menyebutnya ‘tidak cantik’. Yuni, yang beralih ke makanan saat stres di pekerjaan, juga sedih menghadapi komentar ibunya tentang berat badannya. “Tiap hari mamaku selalu bilang ‘Ya Allah tuh paha… udah kayak…. dan segala macam akan dia sebutkan,” kata Yuni mencontohkan. “Aku butuh didukung untuk hidup sehat, bukan dicemooh. Jadi bukannya termotivasi, aku malah jadi sedih. Aku merasa nggak punya tempat di rumah ini.” Perasaan tak nyaman ini muncul juga di wilayah kerja. Yuni kini bekerja sebagai digital marketer dan copywriter. Dan di sini, ia mendapatkan perlakuan serupa. Dia berteman dengan teman kerjanya yang berpenampilan langsing, berkulit putih dan mulus. “Aku di samping dia, tapi selalu dia yang ditegur. Bukan aku. Seakan-akan aku nggak ada di sampingnya.” Dan Yuni merasa ini berdampak juga pada kehidupan sosialnya. “Yang diajak ngopi hanya yang cantik-cantik saja. Tapi setiap ada proyek yang sulit, aku dibutuhkan,” kata Yuni seraya tergelak. Dia kerap mempertanyakan mengapa harus menerima perlakuan yang berbeda; atau dianggap berbeda oleh sekitarnya. “Emangnya jadi perempuan harus cantik? Harus mulus? Aku pernah dipukul punggungnya sama teman cowok. Kebayang nggak sih rasanya? Dia pikir kalau orang badannya besar itu tidak kesakitan kalau dipukul?”